Saturday, January 28, 2006

TRAUMA ITU

Orang tua saya punya rumah pas di belakang lapangan tembak Marinir KKO, Cilandak. Rumah itu begitu bersejarah, maklum saja pembangunannya memakan waktu 20 tahun lebih dan yang paling seru ternyata pernah kena bom waktu gudang peluru Marinir meledak tahun 1985.
Tentu saja kisah ini paling seru diceritakan oleh Om dan Tante Pri, saudara Bapak yang tinggal di rumah itu. Bagaimana ngerinya malam itu, bayangkan saja 3 bom "nyangsang" ke rumah. Sampai-sampai dapur hancur, begitu juga atap dan kamar. Dinding rumah bergetar dan atap rumah hancur. Rasanya seperti perang.
Menurut tante ku, malam itu begitu mengerikan. Anaknya tanteku sampai kepalanya kejatuhan genteng dan bocor. Paginya Om Pri sekeluarga mengungsi dengan jalan kaki menuju ke Aneka Buana, daerah Pondok Labu. Bayangkan aja jalan kaki dari gang Bangau Cilandak sampai Pondok Labu dan mereka gak merasa capek sama sekali. Katanya mungkin karena sudah terlalu panik dan takut.
Setelah kejadian malam itu, Tante Pri terkena trauma yang cukup parah. Setiap ada bunyi yang keras suka kaget dan panik. Termasuk juga suara tembakan. Tentu saja susah banget untuk mengatasi rasa takut itu, maklum saja letak rumah kami pas di belakang lapangan tembak Marinir.
Mendengar kisah itu, saya jadi nggak kebayang sama korban-korban bom dan perang. Gimana yah traumatis mereka?? Kayak anak kecil yang terkena pecahan bom di Kedutaan Besar Australia. Pasti di masa depannya, dia akan mempunyai trauma yang dalam.
Atau anak-anak yang berada di sebuah foto (foto di atas) yang menggambar keganasan bom napalm di Vietnam. Salah satu dari anak-anak tersebut akhirnya tinggal di Amerika. Di foto itu dia terlihat berlari sambil menangis dengan tubuh telanjang, karena bajunya terbakar oleh ledakan bom Napalm.
Sekarang anak itu menjadi dokter di Amerika, tetapi tetap saja trauma perang itu masih melekat di benaknya. Seringkali kepalanya pusing berdenyut jika teringat peristiwa itu dan bayangan hitam perang masih mengganggu dia, terutama ketika tidur.
Bagi saya perang tidak pernah membawa kebaikan. Semua perang itu, korban pertama dan terbesar adalah masyarakat sipil. Lihat saja korban-korban perang di Rwanda, Vietnam, atau yang lebih dekat lagi di Aceh. Persentase terbanyak adalah warga sipil. Mungkin kebanyakan dari mereka tidak terluka secara fisik, tetapi luka non fisik yang lebih bahaya. Perasaan kehilangan anggota keluarga, melihat pembunuhan, merasa tak ada masa depan, selalu merasa terancam, dan sebagainya adalah bagian dari kehidupan keseharian mereka.
Belum lagi pembersihan etnik. Waduh sering kali saya bertanya "Emang kita bisa memilih suku atau ras?". Mungkin agama bisa dipilih tapi kalau suku dan ras emang bisa milih. Seperti masyarakat Indonesia yang memerangi orang Yahudi. Yahudi kan jenisnya banyak. Sebagai kamu atau bangsa, sebagai agama dan sebagai negara atau pemerintahan? Kalau mau memerangi semua orang Yahudi atau yang berlabel Yahudi itu sama saja konyol, karena orang Yahudi juga gak bisa memilih lahir sebagai Yahudi. Dan saya percaya tidak semua orang Yahudi itu suka perang, apalagi memerangi Islam.
Jadi saya nggak pernah percaya perang itu memecahkan masalah, meskipun itu atas nama Tuhan.

1 comment:

wasugi said...

iyah.. troma banget pastinya.. wah.. ngert kl ternyata bener indonesia perang ma aus.. wowwhhh..